Kisah orang orang jenius Indonesia yang berjaya di luar negri
siapa bilang kalo Indonesia adalah negara dengan kualitas kecerdasan manusia
yang rata-rata rendah ? Buktinya, ada beberapa putra bangsa (dan mungkin masih
banyak lagi yang belum terdeteksi) yang mampu berkarya hingga tingkat
internasional. Siapa aja mereka, cekidot…
Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di Universitas Lehigh,
Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja sehari-hari, Agustus 2 tahun
lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya shocked: mama tercintanya, Auw
Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu, direktur percetakan PT Mutiara
Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh perampok di area perkebunan karet PTPN II
Tanjung Morawa. Peristiwa itu sempat membuatnya “tak percaya” terhadap
Indonesia. Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah
pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor
berstruktur nano.
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan.
Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson.
Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat.
Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu
1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak mengherankan bila
pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di
Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor
termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor
pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia
pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda
semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. “Apakah tragedi orang tuanya
membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan membuatnya ingin beralih
kewarganegaraan?” “Tidak. Hati Saya tetap melekat dengan Indonesia,” katanya
kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol merekrut mahasiswa
Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih memiliki
ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan universitas di Indonesia sebagai
universitas papan atas di Asia.
Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia tumbuh cemerlang tanpa
perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini menurunkan liputan
khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu karena koran ini melihat
sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan pekerja profesional yang
berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya tenaga kerja Indonesia.
Kita memiliki sejumlah Nelson lain—di Amerika, Eropa, dan Jepang. Orang orang
yang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan bisa memberikan sumbangan
berarti bagi kemajuan Indonesia.
MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS
Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah datang.
Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia bisa berada di
mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang beruntung—ia akan
ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya sebelum matahari terlalu
rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan mengaji di musala.
Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian….
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset
bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah
“dagadu”—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang
salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu
ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil
GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala
Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam
eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada
makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam
peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab kebutu*an
pangan dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara
sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi
anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya
karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD
pun belum tentu bisa “membeli” kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa
menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada
manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu
aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di
bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, “Meskipun latar belakang
saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika
mengenai kanker manusia,” ujarnya.
Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang diputar
ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman kelahiran Jawa
yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta
emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang genetika manusia. Ia
menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah —bukan 48 seperti keyakinan
ahli genetika manusia di masa itu (“The Chromosome Number of Man. Jurnal
Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada
2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik
pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di
Texas University, Amerika Serikat.
Prof Dr. KHOIRUL ANWAR: TERINSPIRASI KISAH FIRAUN
Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda
sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung
seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal
Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu
memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para
ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya,
merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler.
Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung
(with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is from Nara
Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008, respectively. Dr.
Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and
Wireless Symposium (RWS) 2006,California,USA.
Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis
OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara
Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology,
Jepang.
Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division multiplexing.
Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya, melainkan
malah meningkat. “Kami mampu menurunkan power sampai 5dB=100 ribu kali lebih
kecil dari yang diperlukan sebelumnya,” kata dia. Dunia memujinya. Khoirul juga
mendapat penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri oleh Konsulat
Jenderal RI Osaka pada 2007.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk
mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard
interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya.
Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis
seperti di kelas saat semua orang bicara kencang secara bersamaan.
Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan algoritma
yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi
tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik
daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini.
Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil tak
terobsesi pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun.
Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang badannya tetap utuh
sampai sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan teknologi “balsam” terhadap
seekor burung kesayangannya yang telah mati. “Saya menggunakan balsam gosok
yang ada di rumah,” kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum) dengan
Siti Patmi itu.
Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa awet dan
mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung tersebut dengan
balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata anak petani ini,
“Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.” Penelitian yang gagal total itu
rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang
mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut
kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar
engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul
sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik
penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.
siapa bilang kalo Indonesia adalah negara dengan kualitas kecerdasan manusia
yang rata-rata rendah ? Buktinya, ada beberapa putra bangsa (dan mungkin masih
banyak lagi yang belum terdeteksi) yang mampu berkarya hingga tingkat
internasional. Siapa aja mereka, cekidot…
Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di Universitas Lehigh,
Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja sehari-hari, Agustus 2 tahun
lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya shocked: mama tercintanya, Auw
Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu, direktur percetakan PT Mutiara
Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh perampok di area perkebunan karet PTPN II
Tanjung Morawa. Peristiwa itu sempat membuatnya “tak percaya” terhadap
Indonesia. Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah
pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor
berstruktur nano.
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan.
Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari
seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson.
Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat.
Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu
1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak mengherankan bila
pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di
Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor
termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor
pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia
pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda
semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. “Apakah tragedi orang tuanya
membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan membuatnya ingin beralih
kewarganegaraan?” “Tidak. Hati Saya tetap melekat dengan Indonesia,” katanya
kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol merekrut mahasiswa
Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih memiliki
ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan universitas di Indonesia sebagai
universitas papan atas di Asia.
Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia tumbuh cemerlang tanpa
perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini menurunkan liputan
khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu karena koran ini melihat
sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan pekerja profesional yang
berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya tenaga kerja Indonesia.
Kita memiliki sejumlah Nelson lain—di Amerika, Eropa, dan Jepang. Orang orang
yang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan bisa memberikan sumbangan
berarti bagi kemajuan Indonesia.
MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS
Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah datang.
Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia bisa berada di
mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang beruntung—ia akan
ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya sebelum matahari terlalu
rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan mengaji di musala.
Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian….
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset
bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah
“dagadu”—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang
salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu
ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil
GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala
Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam
eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada
makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam
peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab kebutu*an
pangan dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara
sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi
anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya
karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD
pun belum tentu bisa “membeli” kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa
menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada
manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu
aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di
bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, “Meskipun latar belakang
saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika
mengenai kanker manusia,” ujarnya.
Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang diputar
ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman kelahiran Jawa
yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta
emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang genetika manusia. Ia
menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah —bukan 48 seperti keyakinan
ahli genetika manusia di masa itu (“The Chromosome Number of Man. Jurnal
Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada
2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik
pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di
Texas University, Amerika Serikat.
Prof Dr. KHOIRUL ANWAR: TERINSPIRASI KISAH FIRAUN
Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda
sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung
seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal
Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu
memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para
ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya,
merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler.
Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung
(with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is from Nara
Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008, respectively. Dr.
Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and
Wireless Symposium (RWS) 2006,California,USA.
Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis
OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara
Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology,
Jepang.
Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division multiplexing.
Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya, melainkan
malah meningkat. “Kami mampu menurunkan power sampai 5dB=100 ribu kali lebih
kecil dari yang diperlukan sebelumnya,” kata dia. Dunia memujinya. Khoirul juga
mendapat penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri oleh Konsulat
Jenderal RI Osaka pada 2007.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk
mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard
interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya.
Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis
seperti di kelas saat semua orang bicara kencang secara bersamaan.
Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan algoritma
yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi
tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik
daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini.
Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil tak
terobsesi pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun.
Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang badannya tetap utuh
sampai sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan teknologi “balsam” terhadap
seekor burung kesayangannya yang telah mati. “Saya menggunakan balsam gosok
yang ada di rumah,” kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum) dengan
Siti Patmi itu.
Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa awet dan
mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung tersebut dengan
balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata anak petani ini,
“Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.” Penelitian yang gagal total itu
rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang
mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut
kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar
engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul
sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik
penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.